Sabtu, 10 September 2011

Pameran Seni Rupa Pasar Ilang Kumandhange “Mletho”

Pasar Ilang Kumandhange “Mletho”
Tanggal : 17 – 26 September 2011
di Bentara Budaya Yogyakarta

Assalamualaikum
Menurut tradisi Jawa, “Pasar ilang kumandhange” adalah kata-kata yang dipercaya sebagai ramalan Jayabaya. Ramalan itu berkenaan dengan visi mesianistisnya. Maksudnya, jika suatu saat terjadi “pasar ilang kumandhange”, pasar kehilangan gaung keramaiannya, pada saat itu akan terjadilah gara-gara. Dan bila gara-gara itu reda akan muncullah Sang Penyelamat bernama “Ratu Adil”.

Kita semua tahu, pasar adalah vital bagi orang Jawa, khususnya wong cilik. Di pasar itulah para bakul menawarkan kebutuhan sehari-hari, dan orang-orang membelinya. Terjadilah tawar menawar yang ikut meramaikan suasana. Di pasar pula orang mendapatkan makanan dan jajanan yang khas, seperti cenil, gethuk, dawet, hawug-hawug, dan sebagainya. Di pasar pula orang memperdagangkan dan membeli ayam, menthog, banyak dan sebagainya. Ini semua membuat pasar berkumandang. Dan kumandangnya terdengar sampai di kejauhan, lebih-lebih di hari-hari pasaran, Legi, Paing, Pon, Wage, Kliwon, tergantung pada tempat masing-masing.

Bayangkan, jika pasar itu sudah tidak mempunyai “kumandhang” lagi! Tak terdengar ramainya orang-orang berbelanja, tak terdengar suara tawar menawar, tak terdengar suara orang berteriak menawarkan dagangan dan jajanan! Apakah ini bukan berarti sebuah “malapetaka” dan “warta kematian”, terutama bagi wong-wong cilik, yang hidupnya tergantung seluruhnya pada pasar? Sungguh suatu keadaan yang amat memprihatinkan!

Dan sekarang, secara fisik dan faktual “pasar ilang kumandhange” itu sungguh mulai terjadi. Tiada lagi pasar. Pasir diganti dengan mall-mall, super market, Indo Mart-Afla Mart, Circle K dan toko-toko serba ada lain-lainnya. Di tempat-tempat ini dijual berbagai macam kebutuhan, tapi lebih-lebih diperuntukkan untuk mereka yang maju, modern, dan kurang lebih berada, bukan untuk rakyat biasa, yang tradisional, terbelakang, dan tak berpunya. “Pasar Ilang Kumandhange” adalah alegori bagi tergusurnya wong cilik, di arus global-liberal yang memang tak memberi ampun dan belas kasih bagi mereka yang kalah, miskin, dan berada di pinggiran.

“Pasar ilang kumandhange” itu kiranya perlu disimak dalam konteks ramalan Jayabaya secara lebih menyeluruh. Maksudnya itu terjadi di tengah zaman yang sedang rusak, di mana wong dursila saya ndarung, akeh dadi durjana, wong gedhe atine jail, mundhak taun mundhak bilaining praja (orang jahat makin menjadi-jadi, para durjana bermunculan, orang-orang gedhe hatinya busuk dan jahil, dan makin hari makin terkutuklah negara ini).

Jadi “pasar ilang kumandhange” terkait dengan rusaknya moral para pemimpin bangsa, kebangkrutan moral bangsa, dan tiadanya pemimpin yang teguh memperhatikan rakyatnya. Tidakkah itu yang sekarang sedang terjadi di negara tercinta ini? Korupsi hampir setiap hari, politik berjalan tanpa memperhatikan kepentingan rakyat, dan partai-partai hanya pandai mengumpulkan uang untuk mempertahankan kekuasaannya.

Jelas, “pasar ilang kumandhange” adalah ramalan, yang mengingatkan, bahwa kita sedang berada dalam situasi kebangkrutan bangsa yang sedang mengancam. Itulah yang dalam tradisi Jawa biasa disebut sebagai gara-gara. Tak heran, bila sudah tiba saatnya “pasar ilang kumandhange”, kita benar-benar rindu akan datangnya Ratu Adil.

Kiranya “pasar ilang kumandhange” adalah sebuah “ikon” yang menarik untuk digarap dalam kanvas-kanvas kita. “Ikon” itu kaya dengan realitas, sindiran, simbol-simbol dan lambang-lambang. Dan lebih dari itu, “ikon” tersebut juga kaya dengan pergulatan hidup dan nasib wong cilik.