Pameran : Membatalkan Keperempuanan
Oleh : Arini Imani Shofia, Bonita Margaret, Deidra Mesayu, Idealita Ismanto, Lashita Situmorang, Lia Mareza, Maria Indria Sari, Maria Magdalena Nurify, Utin Rini, Wahyu Wiedyardini
Pembukaan : Sabtu, 3 Maret 2012, Jam 19.00 WIB
Penulis : Gintani N. A Swastika ; Lisistrata Lusandiana
Pameran dibuka : Ibu Dyan Anggraeni
Pameran berlangsung : 3 – 15 Maret 2012
Tempat : Sangkring Art Project
Performance : Equinox, Santi Saned, Dendang Kampungan, Belkastrelka
Organized : ketjilbergerak
Acara selama pameran berlangsung :
8 Maret 2012, Jam 15.00 – 18.00 wib : DISKUSI
Moderator : Lisistrata Lusandiana
Pembicara : Anjani (Pusat Studi Perempuan, Media, dan Seni)
10 Marett – 10 Mei 2012 : Pameran online “YANG PEREMPUAN YANG BERGERAK”
Pembukaan : 10 Maret 2012, Jam 19.00 – selesai
Tempat :TBY Artshop
Performance : Control Z, DJ Gatot
12 – 15 Maret 2012 : OPEN STUDIO
Seniman : Caroline Rika Winata, Lashita Situmorang, Lia Mareza, Maria Indria Sari, Wahyu Wiedyardini
24 Maret 2012 , Jam 19.00 – selesai : PESTA RAKYAT
Lokasi : Pematang sawah Ds Tegalkenongo, Bugisan Selatan Yogyakarta
Sambutan : Ibu Anggi Minarni
Performance : Kinanti Sekar Rahina, HMJ Kriya ISI, Ndayak Grasak, Limbuk Cangik.
Membatalkan Keperempuanan
Ada masa dimana keperempuanan dirumuskan menjadi lima butir dalam Panca Darma:
(1) wanita sebagai istri pendamping suami
(2) wanita sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda
(3) wanita sebagai pengatur ekonomi rumah tangga
(4) wanita sebagai pencari nafkah tambahan, dan
(5) wanita sebagai anggota masyarakat, terutama organisasi wanita, badan-badan sosial, dan sebagainya yang menyumbangkan tenaga kepada masyarakat.
Ialah orde baru di Indonesia, yang memberikan cara bagaimana menjadi perempuan seharusnya, dengan Panca Darma tersebut. Hal ini bisa kita lihat sebagai contoh ekstrim kontrol negara pada wanita khususnya, hingga ke wilayah yang sangat personal menyangkut kedirian perempuan. Muncul kritik dari beberapa kelompok masyarakat yang mengusung otonomi perempuan.
Secara formal, rumusan itu telah usang. Namun bukan berarti tak ada konsep atau rumusan tak tertulis yang secara tak langsung mengatur dan mengarahkan bagaimana menjadi perempuan seharusnya. Di antaranya ialah berupa wacana yang dihasilkan oleh tradisi, agama dan hal-hal kultural lainnya. Keberadaannya sering kali tidak disadari, dan tidak jarang disetujui dan dibatinkan menjadi ‘seolah wajar’. Bukan masalah jika persetujuan telah melalui proses negosiasi dengan diri perempuan itu sendiri. Dan negosiasi dengan diri ini bukan persoalan sepele.
Itulah yang menjadi spirit dari tema acara ketjilbergerak kali ini :
Membatalkan Keperempuanan
Keperempuanan (menurut KBBI): 1. Perihal perempuan, 2. Kehormatan sebagai perempuan. Ialah segala hal yang berupaya mendefinisikan perempuan, serta memberitahu hingga mengatur bagaimana perempuan seharusnya. Letaknya di luar sekaligus di dalam diri, dan berseliweran dalam keseharian kita. Sehingga, perempuan bukanlah korban dari konsep dan definisi itu, atau sekedar menjadi diri yang menerima ataupun melawan. Akan tetapi sebagai subjek yang penuh daya dan turut serta dalam membentuk dan mendefinisikan konsep tersebut.
Pada dasarnya ialah suatu proses untuk mendefinisikan perempuan. Mencoba mengatasi berbagai label yang menempel dan berusaha ditempelkan pada perempuan dengan seni. Dan membatalkan keperempuanan merupakan ajakan untuk bertemu dengan diri. Siapapun, entah lelaki, perempuan, anak-anak atau dewasa, tidak bisa menghindar dari pelabelan dan penempelan peran dari masyarakat. Hal itu tidak selalu buruk, akan tetapi perlu disikapi sebagai ruang untuk turut serta membentuk definisi.
Keperempuanan bukanlah sesuatu yang sudah jadi dan utuh dalam dirinya, melainkan selalu dalam proses menjadi. Dalam prosesnya menjadi perempuan tersebut tidaklah ada satu konsep besar tunggal yang bisa menunjukkannya. Dan apa yang ingin kita lakukan ini bukan juga untuk membuat rumusan tunggal tersebut. Akan tetapi, bersama-sama berproses dengan cara masing-masing. Salah satunya bisa kita mulai dengan lebih mengenali diri.
Dan sekali lagi, ini bukanlah perkara enteng. Mengenali diri berarti menggali betul apa yang sesungguhnya kita ingini. Dari mana datangnya dan mengapa. Dan secara bersamaan membatalkan keperempuanan yang dianggap sudah jadi di sekitar kita. Batal berarti tidak jadi. Keperempuanan dimaknai sebagai sesuatu yang belum jadi, dibatalkan. Dari sini muncul ruang kosong, yang memperbesar beberapa kemungkinan, di antaranya ialah menjadikan keperempuanan tersebut hadir ataupun tidak. Jika keperempuanan diartikan sebagai segala hal berkait dengan perempuan, maka itu tidak bisa dihindari, sejauh kita menerima adanya label perempuan. Yang menarik untuk dilakukan ialah menempatkan daya yang dimiliki perempuan untuk mendefinisikan perempuan dan bersuara dengan seni.
Dengan seni, kita menghadirkan proses diskusi kita dengan diri, yang personal, ke publik. Diskusi dengan diri ini bisa mengenai apa saja. Apapun yang paling menimbulkan kegelisahan. Banyak hal yang bisa memicu kegelisahan, dan itu berbeda-beda, terkait dengan pengalaman dan pengetahuan masing-masing yang tidak menarik jika kita ingkari. Bisa saja berupa tradisi (patriarki), agama, pendidikan, cinta, dll. Kegelisahan yang didiskusikan dalam diri tersebut kemudian kita bagikan melalui seni, agar hadir ke ruang yang lebih lebar.
(Lisistrata Lusandiana)
Sumber : SangkringArtSpace.Net
Membatalkan Keperempuanan
Ada masa dimana keperempuanan dirumuskan menjadi lima butir dalam Panca Darma:
(1) wanita sebagai istri pendamping suami
(2) wanita sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda
(3) wanita sebagai pengatur ekonomi rumah tangga
(4) wanita sebagai pencari nafkah tambahan, dan
(5) wanita sebagai anggota masyarakat, terutama organisasi wanita, badan-badan sosial, dan sebagainya yang menyumbangkan tenaga kepada masyarakat.
Ialah orde baru di Indonesia, yang memberikan cara bagaimana menjadi perempuan seharusnya, dengan Panca Darma tersebut. Hal ini bisa kita lihat sebagai contoh ekstrim kontrol negara pada wanita khususnya, hingga ke wilayah yang sangat personal menyangkut kedirian perempuan. Muncul kritik dari beberapa kelompok masyarakat yang mengusung otonomi perempuan.
Secara formal, rumusan itu telah usang. Namun bukan berarti tak ada konsep atau rumusan tak tertulis yang secara tak langsung mengatur dan mengarahkan bagaimana menjadi perempuan seharusnya. Di antaranya ialah berupa wacana yang dihasilkan oleh tradisi, agama dan hal-hal kultural lainnya. Keberadaannya sering kali tidak disadari, dan tidak jarang disetujui dan dibatinkan menjadi ‘seolah wajar’. Bukan masalah jika persetujuan telah melalui proses negosiasi dengan diri perempuan itu sendiri. Dan negosiasi dengan diri ini bukan persoalan sepele.
Itulah yang menjadi spirit dari tema acara ketjilbergerak kali ini :
Membatalkan Keperempuanan
Keperempuanan (menurut KBBI): 1. Perihal perempuan, 2. Kehormatan sebagai perempuan. Ialah segala hal yang berupaya mendefinisikan perempuan, serta memberitahu hingga mengatur bagaimana perempuan seharusnya. Letaknya di luar sekaligus di dalam diri, dan berseliweran dalam keseharian kita. Sehingga, perempuan bukanlah korban dari konsep dan definisi itu, atau sekedar menjadi diri yang menerima ataupun melawan. Akan tetapi sebagai subjek yang penuh daya dan turut serta dalam membentuk dan mendefinisikan konsep tersebut.
Pada dasarnya ialah suatu proses untuk mendefinisikan perempuan. Mencoba mengatasi berbagai label yang menempel dan berusaha ditempelkan pada perempuan dengan seni. Dan membatalkan keperempuanan merupakan ajakan untuk bertemu dengan diri. Siapapun, entah lelaki, perempuan, anak-anak atau dewasa, tidak bisa menghindar dari pelabelan dan penempelan peran dari masyarakat. Hal itu tidak selalu buruk, akan tetapi perlu disikapi sebagai ruang untuk turut serta membentuk definisi.
Keperempuanan bukanlah sesuatu yang sudah jadi dan utuh dalam dirinya, melainkan selalu dalam proses menjadi. Dalam prosesnya menjadi perempuan tersebut tidaklah ada satu konsep besar tunggal yang bisa menunjukkannya. Dan apa yang ingin kita lakukan ini bukan juga untuk membuat rumusan tunggal tersebut. Akan tetapi, bersama-sama berproses dengan cara masing-masing. Salah satunya bisa kita mulai dengan lebih mengenali diri.
Dan sekali lagi, ini bukanlah perkara enteng. Mengenali diri berarti menggali betul apa yang sesungguhnya kita ingini. Dari mana datangnya dan mengapa. Dan secara bersamaan membatalkan keperempuanan yang dianggap sudah jadi di sekitar kita. Batal berarti tidak jadi. Keperempuanan dimaknai sebagai sesuatu yang belum jadi, dibatalkan. Dari sini muncul ruang kosong, yang memperbesar beberapa kemungkinan, di antaranya ialah menjadikan keperempuanan tersebut hadir ataupun tidak. Jika keperempuanan diartikan sebagai segala hal berkait dengan perempuan, maka itu tidak bisa dihindari, sejauh kita menerima adanya label perempuan. Yang menarik untuk dilakukan ialah menempatkan daya yang dimiliki perempuan untuk mendefinisikan perempuan dan bersuara dengan seni.
Dengan seni, kita menghadirkan proses diskusi kita dengan diri, yang personal, ke publik. Diskusi dengan diri ini bisa mengenai apa saja. Apapun yang paling menimbulkan kegelisahan. Banyak hal yang bisa memicu kegelisahan, dan itu berbeda-beda, terkait dengan pengalaman dan pengetahuan masing-masing yang tidak menarik jika kita ingkari. Bisa saja berupa tradisi (patriarki), agama, pendidikan, cinta, dll. Kegelisahan yang didiskusikan dalam diri tersebut kemudian kita bagikan melalui seni, agar hadir ke ruang yang lebih lebar.
(Lisistrata Lusandiana)
Sumber : SangkringArtSpace.Net