Pameran Foto "Staats'belang" oleh Kelompok Kandang Jaran.
AssalamualaikumTanggal : 28 May - 31 May 2011
di Bentara Budaya Yogyakarta
Pameran foto dan catatan dari Stabelan, dusun kecil di kaki Gunung Merapi, Jawa Tengah.
Pameran ini berawal dari keinginan untuk membuat dokumentasi keluarga warga Stabelan berpose di depan rumah masing-masing. Ide ini kemudian direspons oleh GER+2 (Gelanggang Emergency Response +2) UGM untuk diwujudkan.
Stabelan adalah dusun terdekat dari puncak Gunung Merapi di sisi barat, kira-kira jaraknya hanya 4 kilometer. Berhadapan langsung dengan risiko erupsi, sewaktu-waktu dusun itu bisa saja lenyap.
Pada awal Januari 2011, dua belas orang berangkat ke Stabelan. Selama beberapa hari, mereka membuat dokumentasi visual dan mencatat data kependudukan. Mereka adalah (1) Herri Ardi, (2) Samsi, (3) Ali Ba'asyin, (4) Budi Asmarawati, (5) Galatia Puspa Sani, (6) Priyo N. Hasnanto, (7) Irfanuddien Ghozali, (8) Muhammad Abe, (9) Ikun Sri Kuncoro, dan (10) Budi N.D. Dharmawan (dua rekan lain mengurusi logistik). Para jurufoto di lapangan menangkap banyak momen yang tidak direncanakan. Para pencatat pun memperoleh sejumlah kisah lain dari percakapan dengan warga. “Entah siapa yang memulai peradaban di tempat ini. Ada yang mengatakan, dahulu tempat ini merupakan kandang kuda pada zaman pendudukan Belanda. Namun aku meragukannya setelah penduduk Stabelan bercerita tentang kata Stabelan yang berasal dari stab. Mereka mengartikan stab sebagai sekelompok pasukan yang ditugaskan di daerah tersebut. Hingga kini, pasukan tersebut juga masih menjadi misteri. Dari mana pasukan itu datang, siapa pemimpin pasukan itu, dan untuk apa pasukan itu ditempatkan di sini. Tak ada yang tahu persis.” (Catatan Priyo Hasnanto)
Kisah keberanian mereka untuk tetap tinggal ketika Merapi erupsi pun terkuak: adanya sosok Mbah Bagor, “ruh gaib” yang mengayomi dan melindungi warga di dalam hubungannya dengan lingkungan. Giyem, seorang warga, mengisahkan, “Saya sendiri, sebelum ada hujan abu, bermimpi bertemu dengan orang yang sudah tua dan berpesan bahwa Merapi mempunyai hajat, tidak boleh pergi dari dusun, jika ingin pergi, mengungsi, silahkan, tapi dusun tidak boleh kosong, artinya harus ada yang menunggu dusun. Kemudian, saya disuruh membuat rosulan berupa jenang lima macam, teh, kopi, tembakau, nasi gunung (nasi jagung) dan perlengkapan lainnya supaya semua selamat.”
Sega gunung atau nasi jagung juga membebaskan kebutuhan dasar mereka dari ketergantungan pada dunia luar, karena padi tak hidup di sana.
“Tidak ada pengangguran di Stabelan. Selepas subuh, laki-laki, perempuan, remaja, bahkan lansia, pernah saya temui sedang berladang, mengusung air, mengurus ternak, menumbuk jagung, serta memecah batu untuk membangun rumahnya sendiri.
Barangkali memang benar, warga Stabelan adalah anak turun pasukan Mbah Bagor. Watak mereka menjalani hidup seperti watak khas kaum prajurit. Ringkes, luwes, pekerja keras, serta memiliki kesetiaan.” (Catatan Irfanuddien Ghozali).
Pameran 60 foto dan lima catatan lapangan ini digagas (di dalam satu kumpulan esai) sebagai wujud penghormatan dan kekaguman pada pilihan warga Stabelan untuk tetap tinggal di sana. Kami ingin menularkan harapan ini kepada orang lain, barangkali ada yang dirindukan dari kesederhanaan dan keberanian hidup ini.
Info lebih lanjut klik disini
Wassalam.